Ruang praktik monopoli dan kartel pangan di
Indonesia sangat besar. Dua tahun terakhir ini, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha telah menangani tiga kasus dugaan kartel daging ayam, daging sapi, dan
beras. Kasus tersebut mencuat karena pemerintah selama ini tidak mempunyai
kendali terhadap tata niaga pangan. Di samping itu, struktur industri pangan
rapuh sehingga meminggirkan petani mandiri.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema
"Mengungkap Kartel Pangan" yang digelar Radio Republik Indonesia dan
Institute for Development of Economics and Finance (Indef), di Jakarta, Senin
(22/2). Hadir sebagai pembicara Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M
Syarkawi Rauf, pakar pangan Indef Bustanul Arifin, dan Ketua Umum Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman.
Syarkawi Rauf mengatakan, dalam kasus dugaan
kartel daging sapi, KPPU menetapkan 32 perusahaan penggemukan sebagai
tersangka. Mereka diduga mengatur realisasi kuota impor sapi dan distribusi
sapi ke rumah pemotongan hewan sebagai respons kebijakan pemerintah tentang
pembatasan kuota sapi.
Pada tahun ini, KPPU menetapkan 12 perusahaan
sebagai tersangka. Dugaan kartelnya pada pengaturan apkir dini bibit ayam (PS)
dan pasokan anak ayam usia sehari (DOC). "Itu menyebabkan harga ayam
jatuh. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, harga ayam di tingkat petani mandiri Rp
8.500-Rp 9.500 per kilogram. Padahal, biaya produksi pokok para peternak Rp
18.000 per kilogram," katanya.
Menurut Syarkawi, bisnis unggas di Indonesia
ini nilainya sekitar Rp 450 triliun. Dahulu, sebanyak 80 persen didominasi
petani mandiri. Pada empat tahun terakhir ini, bisnis unggas telah dikuasai
perusahaan besar dan peternak mitra mereka. Di samping itu, lanjut Syarkawi,
KPPU juga sedang mengawasi dan menyelidiki dugaan penimbunan beras di tingkat
pedagang besar. KPPU menemukan sejumlah indikasi, salah satunya peningkatan
pasokan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, hingga 120 persen pada Februari
2016 daripada pada Februari 2015. "Jika dugaan kartel dan penimbunan
terbukti, KPPU akan merekomendasikan kepada kementerian terkait agar mencabut
izin usaha pelaku," ujarnya.
Sementara dalam kesempatan tersebut, Bustanul
lebih banyak menyoroti industri perunggasan nasional. Bustanul menilai industri
perunggasan di Indonesia itu aneh. Baru dua minggu lalu harga ayam tinggi,
sekarang harganya turun. Biaya pokok penjualan ayam dua minggu lalu Rp 18.500
per kg, sekarang ini Rp 8.500 per kg-Rp 9.500 per kg," ujarnya. Bustanul
mencontohkan, pada Sabtu pekan lalu, harga ayam hidup di petani mandiri di
Sumatera Rp 11.500-Rp 18.000 per kg, di Jawa Rp 8.500-Rp 11.500 per kg, dan di
Kalimantan Rp 14.000-Rp 22.000 per kg.
Sementara itu, harga daging ayam yang dirilis
Kementerian Perdagangan pada Jumat pekan lalu Rp 31.750 per kg dan harga telur
Rp 24.300 per kg. Menurut Bustanul, peternak mandiri akan merugi jika harga
terus bergejolak. Adapun peternak mitra tidak akan mengalami masalah karena
mendapatkan jaminan dari perusahaan besar."Saya berharap KPPU mampu
mengurai persoalan tersebut. Kalau memang praktik monopoli, selesaikan secara
hukum. Namun jika karena faktor lain, saya berharap ada solusi ekonomi dan
kebijakan," tuturnya.
Adhi S Lukman meminta agar pemerintah kembali
memegang kendali atas tata niaga pangan pokok. Selama ini yang dirugikan bukan
hanya petani, peternak, ataupun konsumen, melainkan juga pelaku industri
makanan olahan. Sejak harga daging ayam dan sapi bergejolak, industri makanan
olahan berbahan baku komoditas pangan tersebut turut bergejolak. "Mereka
kekurangan pasokan bahan baku sehingga terpaksa menghentikan atau mengurangi
produksi," ujarnya.
Syarkawi menegaskan, Kementerian Perdagangan
dan Kementerian Pertanian harus segera merampungkan persoalan ini. Gunakan
wewenang mengendalikan tata niaga yang selama ini membuka peluang besar bagi
praktik monopoli dan kartel.
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar